MODEL PEMBELAJARAN DAN MATERI AJAR UNTUK PENGEMBANGAN KOMPETENSI LINTAS BUDAYA MAHASISWA ASING DI WILAYAH SURAKARTA DAN SEKITARNYA

ARTIKEL ILMIAH

 

MODEL PEMBELAJARAN DAN MATERI AJAR UNTUK PENGEMBANGAN KOMPETENSI LINTAS BUDAYA MAHASISWA ASING DI WILAYAH SURAKARTA DAN SEKITARNYA

Oleh:

 

Prof. Dr. M. Sri Samiati Tarjana

Dr. Budi Purnomo, M.Hum.

 

Abstrak

 

Artikel ini menyajikan suatu upaya penyiapan program pengembangan kompetensi komunikasi lintas budaya untuk mahasiswa asing yang berminat untuk belajar di wilayah Surakarta dan sekitarnya. Suatu penelitian tiga tahun dengan rancangan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Educational Research and Development) dilaksanakan, dengan menggunakan pendekatan kerangka ikan (fish-bone approach). Tahun pertama bersifat eksploratif, dan bertujuan untuk mengeksplorasi kasus-kasus penyebab kendala budaya dalam budaya Jawa dan mencari alternatif dalam mengatasinya. Hal itu dipakai sebagai acuan untuk mengembangkan needs analysis dan silabus. Keduanya dipakai sebagai acuan untuk mengembangkan rancangan prototip materi ajar. Materi tersebut disusun dengan menyajikan  kasus lintas budaya dalam berbagai domain, serta langkah-langkah untuk mengembangkan kompetensi komunikasi lintas budaya. Pada tahun kedua, materi ajar tersebut diujicobakan dan direvisi, bersamaan dengan penyusunan model belajar mengajarnya, melalui kegiatan di dalam dan di luar kelas. Kegiatan luar kelas merupakan kegiatan outbound berupa pengalaman nyata dalam setting budaya masyarakat. Uji coba itu mengindikasikan bahwa pengembangan kompetensi lintas budaya perlu dilakukan melalui beberapa tahapan pengenalan, pengembangan pengetahuan, refleksi, komparasi dan eksplorasi. Mahasiswa perlu berpartisipasi aktif dalam kegiatan diskusi  lintas budaya dan membandingkan budayanya dengan budaya yang dipelajarinya, supaya mereka berangsur-angsur mengembangkan perspektif budaya dari yang bersifat etik ke emik. Akhirnya, pada tahun ketiga materi ajar dan model pembelajaran tersebut didesiminasikan dalam lingkup yang lebih luas supaya lebih handal. Ternyata hanya beberapa mahasiswa asing yang akan belajar di berbagai perguruan tinggi di wilayah Jawa Tengah dan DI Yogyakarta telah mempersiapkan dirinya dengan belajar bahasa Indonesia. Tetapi sebagian besar belum memahami bahasa Indonesia, sehingga jelas mengalami kesulitan dalam berkomunikasi, apalagi dalam hal lintas budayanya. Hal ini memperkuat temuan pada tahun sebelumnya. Suatu buku panduan disusun sebagai acuan kegiatan belajar mengajar. Penelitian ini membukikan bahwa suatu program orientasi bahasa dan budaya memang diperlukan guna mengembangkan kompetensi lintas budaya dari mahasiswa asing sebagai mahasiswa baru. Dalam program  tersebut, mahasiswa asing perlu merefkesikan pengalaman pribadi dalam budayanya, membahasnya dengan sesamanya, membuat analisis komparatif dari berbagai budaya, serta membangun perspektif budaya baru berdasarkan pengalaman masing-masing. Hal tersebut perlu dilaksanakan melalui partisipasi aktif, belajar secara kolaboratif dengan menggunakan model pengembangan budaya yang sesuai. Ketika melakukan kegiatan tersebut, mereka wajib menggunakan bahasa Indonesia. Secara umum, artikel ini membahas rangkaian penelitian tersebut dalam sifat holistiknya.

 

Kata kunci: kompetensi lintas budaya, perspektif budaya bersifat etik dan emik, program orientasi budaya, kegiatan belajar budaya dalam dan luar kelas (outbound), refleksi, komparasi dan belajar secara kolaboratif, model pengembangan lintas budaya.

1.    Pendahuluan

Seperti diketahui, dinamika mobilitas masyarakat antar negara menjadi semakin tinggi pada era globalisasi ini. Fenomena ini tampak pula dalam dunia kehidupan akademik, seiring dengan terbukanya kesempatan bagi mahasiswa manca negara untuk menempuh pendidikan di Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia, termasuk di UNS. Saat ini mahasiswa asing di UNS berada pada jalur non-gelar, gelar S-1 dan gelar S-2. melalui jalur Dharma Siswa, Kelompok Negara Berkembang dan jalur Kerjasama Bilateral. dan Antar-Universitas Jumlah mereka semakin meningkat, dan beberapa di antaranya telah lulus..

Hingga saat ini keberadaan mahasiswa asing pada umumnya dipersiapkan melalui  Program BIPA (Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing), seperti yang telah berjalan di beberapa PT seperti Universitas Gajah Mada, Universitas Sebelas Maret, Universitas Negeri Semarang, dan Universitas Kristen Satya Wacana. Program tersebut pada hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan kemampuan bahasa Indonesia penutur asing (termasuk mahasiswa asing). Pengamatan menunjukkan bahwa aspek budaya belum ditangani secara khusus. Seperti diketahui, masyarakat wilayah Surakarta dan sekitarnya memiliki kespesifikan dalam hal bahasa dan budaya Jawa yang  bersifat high-context culture. Berbagai fenomena bahasa dan budaya tidak selalu dinyatakan secara eksplisit, dan terdapat norma tertentu dalam menyatakan kesantunan dan rasa hormat antar-penutur. Selain itu, masyarakat lokal di wilayah tersebut terbiasa menggunakan bahasa Indonesia bercampur dengan bahasa Jawa. Perilaku mereka pun terbiasa dengan pola tingkah laku masyarakat Jawa yang cenderung menomorduakan diri penutur untuk menyatakan sikap hormat kepada mitra tuturnya (Supomo Poedjosudarmo,1982). Karena itu prinsip kesantunan budaya Jawa perlu diterapkan pada sikap dan perilaku masyarakat dalam bertutur. Kondisi budaya itu mengakibatkan mahasiswa asing yang masuk untuk belajar di wilayah Surakarta langsung menghadapi kendala lintas budaya yang kompleks.

Di tempat studi yang baru dikenalnya, mahasiswa asing pasti merasakan kendala bahasa dan budaya ketika berkomunikasi dengan lingkungan multikultural yang masih asing baginya. Keberadaan mahasiswa asing tampaknya memang perlu mendapat perhatian melalui penyiapan dan pengenalan terhadap orientasi lintas-budaya, supaya mereka merasa nyaman di tempat belajarnya yang baru di Indonesia. Temuan penelitian Sri Samiati (2004), dan Sri Samiati dan Gatot Sunarno (2006) menunjukkan bahwa mahasiswa memiliki rasa canggung, khawatir dan perlu berhati-hati dalam berkomunikasi dengan penutur yang baru dikenalnya atau dalam lingkungan yang baru. Storti (2001) dan Holliday et.al. (2007)  menyebutkan bahwa orang biasanya memasuki periode ketidaknyamanan yang disebut gegar budaya (culture shock) dan kendala budaya (culture constraint), ketika ia masuk ke dalam lingkungan bahasa dan budaya yang berbeda dari yang biasa dikenalnya. McAllistar (1995) menyatakan bahwa ada bagian dari budaya yang tampak (visible) dan tidak tampak (unvisible). Karena orang terbiasa dengan perspektif budayanya sendiri, ia cenderung merasakan keterasingan (strangerhood) ketika memasuki lingkungan budaya yang baru.  Dalam hal ini Fantini (1995) menunjukkan perlu ada perubahan dari wawasan etik ke wawasan emik dalam pemahaman dan komunikasi antar-budaya. Ia menunjuk pada gagasan Fishman di tahun 1974 supaya visi monokuler yang sempit, perlu dikembangkan menjadi berperspektif multi-dimensi bagi pemahaman lintas budaya Karenanya perlu dilakukan upaya yang terarah dan terencana mengenai pengembangan kemampuan komunikasi antar-budaya bagi mahasiswa asing. Selain memungkinkan berkembangnya pengalaman sosial-budaya masyarakat, kehadiran mereka dapat memacu suasana akademik setempat ke tingkat internasional dan menumbuhkan terbentuknya masyarakat kampus yang multi-kultural. Pada gilirannya hal ini akan mendorong terciptanya peningkatan kualitas pendidikan tinggi Indonesia dan menjadi ajang promosi pendidikan tinggi Indonesia di manca negara.

Berkaitan dengan belum ditanganinya aspek bahasa dan budaya sebagai program penyiapan mahasiswa asing yang akan belajar di PT di Indonesia, khususnya dalam lingkungan masyarakat Jawa, diajukanlah penelitian berjudul: “Model Pembelajaran dan Materi Ajar Bagi Pengembangan Kompetensi Lintas-Budaya Mahasiswa Asing di Wilayah Surakarta dan sekitarnya”.

2.    Metodologi

Penelitian ini berbentuk Penelitian dan Pengembangan Pendidikan (Educational Research and Development) yang berlangsung selama tiga tahun, dengan menerapkan acuan kerangka ikan (fish-bone approach). Penelitian dilaksanakan dalam tiga tahap: tahap I: Mei – September 2009, tahap II: Juni – Oktober 2010, serta tahap III: Juni – Oktober 2011. Lokasi penelitian berada di wilayah Surakarta dan sekitarnya, di tempat masyarakat setempat menggunakan bahasa Indonesia dalam konteks bahasa dan budaya Jawa. Subyek penelitian adalah mahasiswa asing program S-1, S-2 dan S-3 di Surakarta, dan pada tahun ketiga dikembangkan pada wilayah yang lebih luas, yakni di Universitas Sebelas Maret, Institut Seni Indonesia Surakarta, Universitas Muhammadiayah Surakarta, .Universitas Diponegoro, Universitas Negeri Semarang, Universitas Kristen Satya Wacana, dan Universitas Gajah Mada. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner, wawancara mendalam, pengamatan berperan, serta observasi pasif. Adapun teknik analisis data dilakukan melalui cara a) menentukan satuan informasi, b) membuat kategorisasi informasi berdasarkan kesamaan ciri informasi, c) menentukan hubungan antar-kategori, serta d) mengembangkan teori berdasarkan jenis hubungan antar-kategori informasi. Dengan demikian dapat dicermati hubungan antar-kategori tersebut secara cermat dan komprehensif.

3.    Pembahasan dan Hasil Penelitian

Tahun pertama (tahun 2009) penelitian ini merupakan tahun eksplorasi untuk menggali secara mendalam dan komprehensif berbagai faktor sosial budaya yang terdapat dalam lingkungan masyarakat di daerah Surakarta dan sekitarnya. Temuannya menunjukkan adanya berbagai sikap dan perilaku masyarakat Jawa yang bersifat high-context culture dalam tindak tutur mereka. Perasaan dari refleksi  pribadi dan tatakrama yang digunakan acapkali berhubungan dengan sifat dasar filosofis tentang yang “baik” dan “buruk”, serta yang “pantas” dan “tidak pantas”, yang acapkali tidak diungkapkan secara eksplisit. Dalam berbahasa, kebanyakan orang Jawa cenderung beralih ke bahasa ibunya jika dirasa bahasa Indonesia belum cukup memberi rasa hormat. Hal ini berhubungan dengan mindset hirarkhikal untuk menghormati orang lain, khususnya kepada orang yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi atau yang lebih tua dari dirinya. Lingkungan budaya tersebut menjadi kendala budaya khususnya bagi pendatang yang memiliki budaya yang bersifat egalitarian, langsung dan terbuka sebagaimana terdapat pada budaya Barat. Atas dasar temuan itu, pada tahun pertama disusun needs analysis dan kemudian silabus, yang selanjutnya dipergunakan sebagai referensi untuk menyusun prototip materi ajar pengembangan kompetensi lintas budaya. Prototip materi ajar tersebut disusun menurut berbagai domein dan setting budaya dalam tata kehidupan masyarakat Jawa, serta kendala budaya yang bisa muncul dalam interaksi antar budaya pada setting tersebut. Dalam materi ajar terdapat tugas-tugas untuk memecahkan masalah budaya melalui diskusi, komparasi dan pendekatan reflektif. Dengan langah-langkah tersebut, mahasiswa asing diharapkan dapat secara berangsur-angsur mengembangkan kompetensi komunikasi lintas budayanya.

Tahun kedua (tahun 2010) penelitian ini merupakan tahap uji coba terbatas  terhadap prototip materi ajar lintas budaya yang tersusun pada tahun pertama, sekaligus untuk merancang model pembelajarannya. Pada uji coba tersebut dilakukan pencermatan terhadap keragaman isi, keterpaduan, dan keterbacaan materi ajar.  Materi ajar tersebut perlu mencantumkan secara jelas strategi belajar dan tahapan untuk pengembangan kompetensi lintas budaya, yakni yang dilakukan melalui pengenalan, pemahaman, refleksi dan eksplorasi terhadap budaya masyarakat setempat, serta perbandingannya dengan budaya yang dikenal pembelajar. Kegiatan pembelajaran dilakukan dalam kelas sedang pengalaman lapangan diperoleh dari kegiatan outbound di beberapa lokasi di  wilayah kota Surakarta dan sekitarnya, yang menyuguhkan peristiwa dan kegiatan budaya yang memungkinkan mahasiswa asing berperan aktif dalam mengenal dan memahami peristiwa budaya tersebut, khususnya melalui  kontak budaya secara langsung dengan masyarakat.

Penelitian ini menemukan bahwa pada hakekatnya peningkatan kemampuan lintas budaya perlu dibedakan menurut kedekatan budaya negara asal dan budaya setempat. Mahasiswa asing yang berasal dari negara Asia Tenggara mempunyai budaya tentang rasa hormat serupa dengan yang dikenal masyarakat Jawa/Indonesia, sehingga mereka relatif cepat dalam mengenal dan memahami budaya masyarakat setempat. Ditemukan bahwa peningkatan kemampuan budaya tersebut perlu dilakukan menurut domein pada tingkat formal dan informal, serta dalam kegiatan komunikasi yang bersifat individual dan kelompok. Hal ini mengindikasikan bahwa pembelajaran perlu melibatkan partisipasi aktif dari pembelajar dalam mengembangkan wawasan budayanya. Peranan guru atau pemandu diharapkan lebih banyak dalam hal memberikan wawasan budaya, khususnya pada tahap pengenalan dan pemahaman budaya. Sementara tahap pengembangan kompetensi lintas budaya selanjutnya dilakukan pembelajar dalam kegiatan komunikasi aktif dalam diskusi melalui refleksi, eksplorasi dan komparasi antara budayanya dan budaya masyarakat setempat. Dalam hal ini minat dan kepribadian mahasiswa tampaknya berpengaruh pula terhadap kemampuan adaptasi dalam budaya yang baru dikenalnya.

Tujuan penelitian pada tahun ketiga adalah untuk melakukan uji coba materi ajar dan model pembelajarannya pada wilayah yang diperluas. Kegiatan tersebut dilakukan untuk memantapkan keterhandalan hasil kajian tahun kedua, lebih-lebih mengingat bahwa mahasiswa asing akan terlibat secara langsung dengan berbagai kegiatan dan peristiwa budaya dalam masyarakat. Kajian ini menemukan bahwa ternyata hanya sebagian kecil mahasiswa asing yang datang untuk belajar di Indonesia telah mempersiapkan diri dengan belajar bahasa Indonesia. Namun sebagian besar masih belum menguasai bahasa Indonesia. Mereka jelas mengalami berbagai kesulitan dalam berkomunikasi, apalagi dalam hal lintas budaya. Pada tahun ketiga tersebut ditetapkan bahwa materi ajar perlu dikembangkan dalam 11 unit yang bersifat domein oriented sebagai pengenalan wawasan dalam hal bulding knowledge of the field. Unit-unit tersebut meliputi: Kantor Layanan Urusan Internasional, Tertib Administrasi dan Dokumentasi, Kegiatan Belajar Mengajar, Kegiatan Belajar di Luar Kelas, Tatakrama Bermasyarakat, Tatakrama Berbahasa dalam Masyarakat, Kegiatan Resmi Perkantoran, Kegiatan Layanan Umum Masyarakat, Kegiatan Transportasi Umum, Kegiatan Layanan Kesehatan, serta Kegiatan pada Peristiwa Seni dan Budaya. Supaya jelas dan menarik, materi ajar tersebut dilengkapi dengan gambar-gambar mengenai setting yang relevan dan spesifik, serta yang berkait dengan pengalaman mahasiswa secara nyata (real cultural experience). Materi juga dilengkapi dengan uraian tentang settting pada domein tersebut dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Berkenaan dengan modifikasi tersebut, rangkuman dari pernyataan guru dan mahasiswa menyatakan bahwa materi ajar yang dikembangkan tersebut bermanfaat, menarik, relevan dengan kebutuhan dan lebih mudah dipahami mahasiswa.

Pada tahun ketiga juga berhasil disusun Buku Panduan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) untuk mendukung pembelajaran dengan materi ajar tersebut. Telah disebutkan bahwa pembelajaran pengembangan kompetensi lintas budaya perlu dilakukan di dalam dan di luar kelas. Mahasiswa menyatakan bahwa kegiatan belajar dalam kelas dan outbound nyata bermanfaat, menarik dan saling mendukung dalam pengembangan komunikasi lintas budaya, khususnya ketika mereka memperoleh pengalaman pada kegiatan budaya yang nyata dalam masyarakat. Namun yang lebih penting adalah agar pembelajaran disajikan dalam setting budaya yang relevan dan melalui partisipasi aktif mahasiswa termasuk melalui collaborative learning.

Akhir kata, perlu digarisbawahi bahwa mahasiswa asing yang akan belajar di PT yang berada di wilayah yang memiliki high-context culture perlu dipersiapkan dengan suatu program orientasi yang memungkinkan mereka untuk mengatasi kendala budaya yang dihadapinya. Program tersebut perlu dilaksanakan di dalam dan di luar kelas, sehingga mahasiswa berpengalaman dalam mengembangkan wawasan bahasa dan budayanya dalam konteks budaya yang relevan. Dengan pengalaman tersebut mereka dapat melampaui cultural threshold yang semula asing baginya, sehingga kemudian merasa aman dan nyaman ketika berkomunikasi dalam setting masyarakat dan budaya yang baru dikenalnya. Dalam hal ini mereka perlu secara aktif berproses agar secara berangsur-angsur mereka mampu bergerak dari berwawasan etik ke berwawasan emik, ketika mengembangkan kompetensi lintas budayanya tersebut, sambil menggunakan bahasa yang dipakai masyarakat tutur setempat..

 

4.    Kesimpulan dan Saran

Penelitian ini menyimpulkan bahwa penutur asing, termasuk mahasiswa asing, perlu mempersiapkan diri ketika mereka masuk dan akan tinggal dalam setting bahasa dan budaya yang masih asing baginya. Dalam hal ini diperlukan suatu program orientasi bahasa dan budaya yang memungkinkannya untuk mengenal lingkungan budaya yang baru, sehingga ia tidak terkiendala oleh perasaan keterasingan, gegar budaya dan berbagai kendala budaya dalam lingkungan budaya yang masih asing baginya. Penelitian ini menunjukkan bahwa mahasiswa asing (dan penutur asing pada umumnya) mengalami pengembangan kompetensi komunikasi lintas budaya melalui suatu proses berangsur-angsur dari perubahan wawasan etik yang bersifat in-group ke wawasan emik pada lingkup out-group. Jika semula mereka merasa was-was, canggung dan diliputi keraguan ketika berinteraksi dengan masyarakat dalam budaya yang semula terasa asing, kini pada tahap emik tersebut mereka mampu berkomunikasi dengan nyaman dengan masyarakat setempat.

Penelitian ini juga menunjukkan bahwa pengembangan wawasan lintas budaya tersebut perlu dilakukan melalui suatu program orientasi atau pembekalan bahasa dan budaya. Mahasiswa asing perlu dipandu, dalam arti diperkenalkan, kemudian mendapat kesempatan untuk memiliki pengalaman berinteraksi dalam bahasa dan budaya yang semula asing baginya. Dalam hal ini diperlukan materi ajar dan suatu proses pembelajaran yang menyuguhkan situasi budaya yang nyata. Disini mahasiswa asing perlu berperan aktif dalam proses pembelajaran tersebut, termasuk dalam melakukan collaborative learning. Materi ajar pun perlu dilengkapi dengan gambar-gambar dan rekaman video atau film yang menyajikan setting budaya yang spesifik dan relevan. Hal ini mengindikasikan perlunya dilakukan suatu program orientasi budaya sebagai bridging program. Mengingat dewasa ini buku pembelajaran khusus budaya belum ditemukan, adalah menjadi harapan peneliti agar materi ajar dan model pembelajaran pengembangan kompetensi lintas budaya yang dikembangkan dalam penelitian ini di kemudian hari dapat dimanfaatkan dalam bridging program bagi mahasiswa asing.

DAFTAR PUSTAKA

Asim Gunarwan. 2002. “Persepsi Nilai Budaya Jawa di Kalangan Orang Jawa: Implikasinya pada Penggunaan Bahasa”. Makalah pada PELBBA ke 16. Jakarta: Juli 22-23.

Bagian Kerjasama Universitas Sebelas Maret. 1994. Bahasa Indonesia untuk Mahasiswa  Program Dharmais. Surakarta.

Holliday, Adrian dkk. 2008. Intercultural Communication, An Advanced Resource Book. London : Routledge Applied Linguistics.

Lado, Robert. 1966. Linguistics Across Cultures. Ann Arbor: Michigan University Press.

Levine, D.R. dan Adelman, M.B. 1982. Beyond Language: Intercultural Communication for English as a Second Language. New Jersey: Prentice-Hall, Inc

Maryono Dwi Raharjo. 2001. Bahasa Jawa Krama. Surakarta: Yayasan Pustaka Cakra

Mey, Jacob.L. 1993. Pragmatics: An Introduction. Oxford: Blackwell Publushers.

Soepomo Pudjasoedarmo, dkk. 1982. Kedudukan dan Fungsi Bahasa Jawa. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah.

Soepomo Pudjasoedarmo, dkk. 1979. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat

Pembinaan dan Pengembangan Bahasa

Sri Samiati T. 2006. Penggunaan Bahasa dalam Perspektif Pragmatik dan Implikasinya bagi Peningkatan Kualitas Generasi Muda di Indonesia. Pidato Pengukuhan Guru Besar – UNS Press.

Sri Samiati T dan Gatot Sunarno. 2006. “Pengambangan Pemahaman Lintas Budaya Inggris-Indonesia melalui Kegiatan Pengalaman Lapangan Table Manner”. Penelitian BPI Jurusan Sastra Inggris. Fakultas Sastra dan Seni Rupa. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Sri Samiati T.: 2004 “Peranan Seorang Wanita dalam Membangun Kepekaan Antar-Budaya pada Masyarakat Bias-Gender”, Kajian Sastra, 0852-0704.

___________: 2003. “Sekitar Permasalahan oleh Kasus Tan-Padanan dalam Penerjemahan dan Berbagai Strategi untuk Mengatasinya”. Makalah pada Kongres Nasional Penerjemahan. Universitas Sebelas Maret. Tawangmangu.

__________ : 2001. “Analisis Cakapan melalui Internet antara Mahasiswa UNS dan Mahasiswa the University of Sunshine Coast” Penelitian BPI Jurusan Sastra Inggris. Fakultas Sastra dan Seni Rupa. Universitas Sebelas Maret. Surakarta

__________ : 1997. “Strangerhood in the Language of Tourism” Bahasa, Sastra dan Studi Amaerika. ISSN 1410 – 5411.

Storti, Craig. 2001. The Art of Crossing Culture. London: Nicholas Brealey Publishing

Suwito. 1985. Sosiolinguistik: Pengantar Awal. Surakarta. Henary Offset.

Tomasouw, Pauline. 1986. Cross Cultural Understanding . Jakarta: Penerbit Karunika      Jakarta.

Verscheuren, Jef. 1999. Understanding Pragmatics. London: Arnold.

Young Gregg, Joan. 1977. Communication and Culture. London: Wordsworth. Inc.

http://www.culturosity.com/pdfs/TipsforCross-CulturalCommunication.pdf. diunduh pada tanggal 22 September 2008

http://www.itstime.com/aug97.htmdiunduh pada tanggal 20 September 2008

http://en.wikipedia.org/wiki/Non-verbal-communication diunduh pada tanggal 20 September 2008

Hцseynzadя, Gцlnar (2008) “Cultural Awareness in the Language Classroom” diunduh dari www.adu.edu.az/Libazkulawarenessinthelangclassroom.pdf pada tanggal 21 September 2008

Marwick, Benjamin. (2008) “Culture Shock” diunduh dari http://rspas.anu.edu.au/~benm/CMU/cukltureshock.pdf pada tanggal 21 September 2008

Roy, Saberi. 2008. The Psychology of Communication dalam http://www.buzzle/com/articles/the-psychology-of-communication,html diunduh pada tanggal 20 September 2008.